Tak berartikah suaraku

Pabrik itu terlihat tampak kokoh. Bangunan tua dua lantai bercat warna putih bersih. Dikelilingi pagar tembok  setinggi  satu setengah meter. Bangunan yang memiliki pelataran lumayan luas, dengan pos  satpam di pintu masuk dan keluar. Serta sedikit taman bunga dipelataran bagian depan gedung, memberikan sedikit keindahan pabrik tahu yang baru selesai di renovasi.

Di gedung inilah, selama lebih dari delapan tahun aku mengais rejeki. Rejeki yang hanya cukup untuk sekedar menyambung hidup. Menjalankan kewajiban sebagai kepala keluarga untuk menghidupi anak dan istri. Rejeki yang mungkin tak pernah cukup untuk memenuhi semua kebutuhan kami.

Selama itupula aku sudah melewati beberapa periode kepemimpinan. Mulai dari pemimpin yang tegas pada bawahan, namun loyal pada rekanan. Hingga pimpinan yang loyal dan baik pada rekanan namun acuh pada bawahan, semua sudah pernah aku alami. Walaupun mereka berbeda metode memimpinnya, namun ada satu kesamaan pada diri mereka. Mereka sama-sama belum menemukan solusi yang tepat untuk memajukan perusahaan.Seperti halnya kepemimpinan pak Ali sekarang ini. Tipe pemimpin yang sangat loyal pada rekanan namun acuh pada bawahan. Dimana setiap ada rekanan yang terlambat dalam menyetorkan kedelai sebagai bahan baku pembuatan tahu, Dia selalu mentolerirnya. Dan apabila ada karyawan yang keberatan tentang kedelai yang disetorkan karena kualitasnya tidak sesuai, Dia langsung menginstruksikan kepada karyawan untuk tetap menerimanya. Padahal sesuai standar yang telah ditentukan pabrik seharusnya kedelai itu tidak layak masuk. Namun karena keloyalannya kepada rekanan dia mengabaikan aturan yang telah dibuatnya sendiri.

Karena sikap yang seperti ini, akhirnya kualitas tahu yang dihasilkan jauh dari standar. Sehingga tahu produksi pabrik ini kurang laku di pasaran. Selain karena tahunya yang tidak tahan lama, kualitasnyapun jauh di bawah standar yang ada.

Meilhat adanya kemerosotan produksi, maka pak Ali mengumpulkan semua karyawan dan juga atasan karyawan untuk mencari solusi yang tepat. Mula-mula pak Ali bertanya kenapa produksinya bisa merosot, hingga mempengaruhi omzet dan juga laba penjualan perusahaan. Salah satu karyawanpun menjelaskan perihal kemerosotan produksi yang dialami. Karyawan itu menyebutkan kalau penyebab kemerosotan produksi karena kedelai yang disetor oleh rekanan masih banyak yang belum bersih, sehingga diperlukan proses yang agak lama dalam menyotirnya. Pak Alipun mengangguk, tanda setuju dengan alasan yang disampaikan oleh salah satu karyawannya. Akupun ikut berperan memberikan masukan. Aku bilang merosotnya produksi yang dialami karena tidak mengertinya rekanan tentang standar bahan baku yang kita tetapkan. Kali ini pak Ali hanya terdiam, seolah mengacuhkan apa yang aku katakan. Wajar memang, karena di pabrik ini aku termasuk salah satu karyawan yang sering tidak sependapat dengan kebijakannya.

Setelah mendengarkan semua masukan, akhirnya pak Alipun memutuskan untuk menambah petugas yang menyortir kedelai hingga layak masuk dapur produksi. Rencananya berjalan lancar. Proses produksi semakin cepat dan output yang dihasilkan semakin banyak. Namun produk yang dihasilkan kualitasnya masih jauh dari standar. Sehingga konsumen jarang yang melirik tahu kami yang secara otomatis mempengaruhi omzet penjualan dan secara tidak langsung berdampak pada kemerosotan laba dari pabrik kami.

Melihat kondisi ini, untuk kedua kalinya pak Ali mengumpulkan para karyawan berserta atasan langsungnya untuk meminta laporan dan juga masukan. Satu persatu para pegewai memberikan masukan tentang hal ini. Ada yang bilang kalau turunnya kualitas tahu karena lemahnya pengawasan pada proses pembuatan tahu sehingga tahu yang dihasilkan juga kurang berkualitas. Mendengar masukan itu, pak Alipun mengangguk-ngangguk tanda setuju. Seperti biasa, akupun ikut menyumbangkan saran. Aku bilang kalau turunnya kualitas tahu disebabkan karena rekanan pemasok bahan baku yang tidak mau mematuhi standar bahan baku yang kita berikan. Mendengar masukanku pak Ali biasa saja, seolah mengacuhkan masukan dari karyawan yang sering berseberangan dengan kebijakannya.

Dengan banyak pertimbangan, akhirnya pak Ali memutuskan untuk menambah metode pengawasan pada proses pembuatan tahu dengan teknologi yang lebih canggih, namun tetap mengabaikan standar kualitas bahan baku yang sebenarnya telah ditetapkan sebelumnya. Tak hanya itu pak Alipun mengintruksikan untuk mempercantik tampilan tahu untuk menarik minat para konsumen.

Kebijakanpun dijalankan. Dengan biaya yang cukup mahal, akhirnya tekhnologi pengawasan dalam proses pembuatan tahu yang canggih itupun mulai dioperasikan. Dengan beroperasinya mesin tersebut, ternyata memang benar banyak sekali ditemukan tahu yang belum memenuhi standar yang diinginkan, sehingga harus diulang pembuatannya. Karena pengulangan ini akhirnya jam kerja para karyawanpun bertambah. Yang semula hanya 8 jam dalam sehari, kini bisa mencapai 10 sampai 12 jam sehari. Akibat bertambahnya jam kerja ini, banyak para karyawan yang jatuh sakit karena kelelahan. Selain itu omzet yang dihasilkanpun masih tetap dan tidak ada penambahan yang signifikan.

Meilhat kondisi ini, pak Alipun mengumpulkan kembali para karyawan beserta atasan langsungnya. Tanpa basa-basi pak Ali meminta para karyawannya untuk memberikan informasi serta masukan untuk mengatasi masalah ini. Salah satu pegeawainya langsung mengeluhkan kondisi yang ada. Dia mengatakan kalau bertambahnya jam kerja ini disebabkan karena banyaknya tahu yang harus masuk dapur produksi ulang karena tidak sesuai dengan kualitas yang ditetapkan. Mendengar keluhan ini, pak Ali tampak mengerti dengan menggangguk-anggukan kepala. Seperti biasa, akupun tak ketinggalan memberikan masukan mengenai hal ini. Dengan tegas aku katakan kalau yang menjadi penyebab semuai ini adalah rekanan yang tidak taat pada standarisai bahan baku yang telah kita tetapkan. Maka sudah selayaknya kita paksa para rekanan untuk mentaati standar bahan baku yang telah kita tetapkan. Dan seperti biasa pula, pak Ali tidak memberikan respon atas masukan yang aku berikan. Masukan dari karyawan yang sering berbeda pandangan dalam hal kebijakan. Kali ini pak Ali belum mengambil tindakan apa-apa atas pertemuan sore ini. Pabrikpun masih berjalan seperti biasa. Berjalan dengan penyelesaian pekerjaan yang tak tentu jam kerjanya. Dan akupun masih tetap mencoba memahami pola pikir pimpinan yang satu ini.

Sebagus apapun proses produksinya, sehandal apapun SDMnya dan secanggih apapun alatnya, tidak akan bisa meningkatkan kualitas suatu produk, apabila bahan baku yang digunakan tidak berkualitas.

Kupang, 19 Mei 2011/16 Jumadil Akhir 1432H.

10 Responses to Tak berartikah suaraku

  1. giewahyudi says:

    Kadang memang pemimpin berjalan sendiri tanpa mau mendengarkan suara-suara di bawahnya..
    Pemimpin seperti ini hanya bertahan karena uangnya, kalau uangnya habis maka habis pula riwayatnya.. *ngancem*

    Mungkin kurangnya kelapangan hati sang pemimpin. Wekekeke ngeri juga anceman

  2. Susindra says:

    Siap-siap cari kapal baru karena kapal yang ini sudah bocor dimana-mana dan siap karam. Itu sih pendapat pribadi karena bahan baku adalah mutlak jika ingin menjaga kualitas.

    Sip setuju. Salam kenal

  3. tiap pemimpin punya cara sendiri dalam memimpin.. 🙂

    Memang, tapi seharusnya mau menerima masukan dari bawah. Siapapun itu, tanpa mendiskriminasikan. 🙂

    • wAH perlu dipertanyakan tuh kepemimpinannya. ga bisa dilengserkan?

      Ga usah dipertanyakan, susah kalau dalam birokrasi, kecuali kalau swasta memang bener-bener berdasarkan kualitas

      .

  4. dede6699 says:

    betul”..bahan baku sngt pnting.. Ngapain jg misal hp canggih klo bhan’a buruk..psti cpet rsak n ga canggih(bener slah g yah..hee)

    Bahan baku ibarat pondasi/kerangka dalam sebuah bangunan. Kalau kerangkanya aja tidak bagus, bisa dipastikan itu bangunan tidak tahan lama. 🙂

  5. ceritabudi says:

    bibit sangat penting untuk suatu hasil ya kang…begitu juga bahannya bagus, pengolahan bagus serta managementnya bagus akan memberikan hasil yang bagus juga ya

    Benar sekali Pak. 🙂

  6. Ade Truna says:

    di kantorku ada pemimpin yg kalo ngomong wicaksono tapi pas salah pinter ngeles, *ah dasar Alibi pemimpin selalu terbukti benar 😥

    Jadi inget becandaan seperti ini.
    Pasal 1
    Pimpinan tidak pernah salah
    Pasal 2
    Kalau salah lihat pasal 1
    🙂

  7. mudah2an dg menulis di blog gini, Pak Ali nya baca mas, terus dia akan menerima apa yg mas usulkan.. 🙂

    Amin. Semoga aja Pimpinan seperti ini bisa tersadar.

  8. fitr4y says:

    atasan selalu benar, dan bawahan selalu salah,, makanya aku sekarang memilih bekerja ndiri .. heheh

    Seperti ini ya?
    Pasal 1
    Pimpinan tidak pernah salah
    Pasal 2
    Kalau salah lihat pasal 1
    btw usaha apaan nih? siapa bisa mengikuti jejaknya.

  9. simpan suaramu sob,, berikan pada yg mau mendengarkan, tinggalkan saja orang yg tidak perduli.

    salam 🙂

    Sip, smoga ada hikmah di dalamnya. 🙂

Leave a reply to amisha syahidah Cancel reply